Minggu, 14 Oktober 2012

Pesepakbola professional merupakan pekerjaan impian. Publikasi dan bayaran yang besar membuat pekerjaan ini amat didambakan semua anak muda di seluruh dunia. Dengan tuntutan professional yang amat menantang, dimana pemain dituntut untuk selalu fit setiap hari pertandingan, maka pesepakbola professional pantas memperoleh pendekatan latihan yang professional pula. Hal ini haruslah didukung dengan program, pola dan struktur latihan yang sistematis dijalankan oleh pelatih sepakbola yang berkompeten. Sayangnya, kepelatihan sepakbola modern, terutama sector fisik kini justru dilanda oleh krisis identitas. Banyak klub-klub professional di Eropa justru menggunakan pendekatan latihan sepakbola yang keluar dari konteks permainan itu sendiri. Beberapa justru senang melakukan imitasi terhadap kesuksesan suatu metode yang digunakan oleh cabang olahraga lain. Membuat latihan fisik menjadi semakin keluar dari karakter permainan sepakbola dan menyebabkan penampilan tidak maksimal berujung cedera. Pendekatan Sepakbola Problem terbesar ialah kebanyakan praktisi fisik di dunia sepakbola berpikir dengan konsep “more is better”, utamanya dalam hal jumlah sesi latihan. Kemudian praktisi fisik juga selalu berasumsi secara tradisional bahwa pemain harus mempersiapkan tubuhnya dulu sebelum mampu bermain sepakbola. Ini membuat latihan fisik di sepakbola menjadi rumit dan kompleks. Dunia kepelatihan sepakbola terkena invasi ilmuwan fisik yang selalu berusaha menjelaskan permainan sepakbola dengan terminology fisik. Untuk itu saya selalu berkata, “kembali ke dasar, yakni permainan sepakbola itu sendiri!!” Saya sungguh tidak mengerti bagaimana 10 klub yang memiliki 10 pelatih fisik yang berbeda , dapat memiliki 10 metode latihan fisik yang berbeda. Obyek yang dilatih adalah sama yaitu pesepakbola dengan permainan dan aturan main yang sama. Ini membuat pesepakbola professional menjadi korban subyektifitas pelatih. Dimana sekali lagi bentuk latihan fisiknya tidak spesifik sepakbola dan celakanya merupakan imitasi dari cabang olahraga atletik, hoki, dll. Pengalaman perdana saya menjadi pelatih fisik Korea Selatan membantu Guus Hiddink memberikan kesan tersendiri. Awalnya saya sempat bertanya pada Hiddink bahwa kehadiran saya tidak diperlukan lagi, mengingat pemain Korsel tampak bugar dan tampil dengan intensitas amat tinggi. “Kamu bersabar dan lihatlah dalam pertandingan persahabatan esok,” ujarnya santai. Analisa Hiddink tepat, Korsel mampu tampil intensitas tinggi dengan banyak gerak sepakbola eksplosif hanya selama 60 menit. Sisanya, mereka kelelahan dan intensitas mereka menurun jauh. Jika Hiddink membawa seorang praktisi fisik tradisional, maka jelas analisanya adalah Korsel perlu meningkatkan aerobic capacity. Untuk itu tim harus banyak melakukan lari jarak jauh dalam waktu tempuh yang lama. Analisa saya lebih spesifik, yakni Korsel tidak mampu mempertahankan intesifitas permainan dengan banyak gerak eksplosif selama 90 menit. Konsekuensinya tentu saja, tim harus bermain dalam area lapangan yang luas dengan blok waktu yang panjang. “Lari adalah untuk pelari, sepakbola adalah untuk pesepakbola!!” Korsel memulainya dengan game besar dalam blok 10 menit. Meningkat dari empat, lima hingga 6 blok 10 menit. Sebelum puncaknya tim bermain selama 90 menit dengan intensitas dan frekuensi gerak eksplosif yang sama. Pemain dirangsang secara perlahan-lahan untuk terus melakukan gerak eksplosif, sehingga tanpa sadar intensitas latihan juga meningkat dengan sendirinya. Sangat logis, bila seorang pelatih menginginkan suatu gaya bermain tertentu secara lebih lama, maka pelaith fisik hanya perlu melatih dengan metode bermain dengan gaya tersebut secara lebih pula. Kuncinya Kesegaran Kemudian aspek fisik sepakbola lain yang amat penting adalah eksplosivitas gerak. Seluruh momen-momen penting dalam pertandingan sepakbola merupakan hasil dari gerak eksplosif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sepakbola adalah intensity sport bukan endurance sport. Pada endurance sport, anda membutuhkan frekuensi dan durasi sesi latihan yang lebih, sedangkan di intensity sport, kita harus memfokuskan pada kualitas sesi latihan. Berdasarkan logika tersebut, jika anda ingin meningkatkan eksplosivitas gerak, maka kelelahan adalah musuh utama. Untuk menghindari kelelahan, pemain harus selalu segar. Untuk itu motto yang dikedepankan adalah less is more. Satu-satunya cara untuk meningkatkan kondisi fisik sepakbola adalah dengan latihan berkualitas, bukan latihan lebih sering. Kasus Arjen Robben bisa menjadi evaluasi bagi para pelatih. Selama tiga tahun karirnya di Chelsea, Robben selalu bergelut dengan cedera. Staf kepelatihan di Chelsea dengan sinis menyebutnya sebagai pemain pecah-belah, akibat terlalu seringnya Robben mengalami cedera. Di Bayern Munich, Robben mengalama musim lalu yang fantastis dengan memenangkan Bundesliga. Salut pada staf kepelatihan Munich yang mengurangi vokume latihan Robben sampai dengan lima puluh persen. Arjen Robben, Robin Van Persie, dan Craig Bellamy adalah pemain yang dapat dikategorikan over explosive. Setiap mereka melakukan gerakan eksplosif, ia mengeluarkan energi yang lebih besar dibanding pemain pada umumnya. Apabila pemain semacam ini berlatih dengan volume sama seperti pemain pada umumnya, tentunya energi yang dikeluarkan akan dua kali lebih banyak. Artinya dengan volume latihan normal pemain over explosive akan mengalami kelelahan luar biasa. Saat pemain lelah, tingkat koordinasi akan menurun drastis. Sinyal perintah dari otak ke tubuh juga akan melambat. Artinya bila sinyal perintah tiba sepersekian detik lebih lambat, maka bisa saja pemain akan melakukan gerak eksplosif dengan kondisi lutut tidak terproteksi dengan baik. Hasilnya, cedera ligamen lutut berkepanjangan!! Hasil riset yang dilakukan pada klub Liga Inggris, di bulan Desember 2010 ini tercatat 108 pemain mengalami cedera. Ini berarti rata-rata setiap klub memiliki 5,4 pemain yang mengalami cedera dari skuad 25 pemain yang dimiliki. Aston Villa dan Tottenham memiliki rekor terhebat dengan 11 pemain dalam daftar cedera. Arsenal menjadi penantang berikutnya dengan 9 pemain cedera. Mereka baru saja kehilangan Kieron Gibbs akibat cedera ankle. Robin Van Persie juga memiliki rekam jejak cedera otot yang terjadi setiap dirinya menjalani beberapa pertandingan. Sebagian cedera akibat dari permainan atau tackling keras, tetapi kebanyakan merupakan cedera otot akibat kelelahan dan pendekatan fisik tradisional yang senantiasa mengedepankan kuantitas ketimbang kuantitas. Istirahat Setelah Turnamen Besar Pelatih fisik harus memahami karakteristik permainan sepakbola. Setiap latihan harus berangkat dari permainan itu sendiri, dikombinasikan dengan karakteristif fisik pemain secara individu. Usia, komposisi tubuh, jejak rekam cedera, riwayat kompetisi merupakan pertimbangan pelatih untuk membuat program latihan fisik sepakbola. Periodisasi individu haruslah eksis di dalam periodisasi tim. Rafael Van Der Vaart menjadi salah satu pemain yang menurut saya harus menjalani periodisasi individu. Terlalu arogan apabila staf kepelatihan Spurs menyebut dirinya kurang bugar. Van Der Vaart mengalami musim berkepanjangan sampai dengan final Piala Dunia 2010. Pasca Piala Dunia, ia masih amat bugar, hanya saja ia tidak segar akibat kelelahan. Pemain yang baru saja mengikuti turnamen besar tidak memiliki waktu istirahat yang banyak. Untuk itu pelatih fisik sepakbola harus menyiapkan periodisasi individu bagi pemain ini. Mereka tidak membutuhkan latihan fisik selama pre season. Latihan fisik di pre season dalam kondisi lelah akan berujung pada menurunnya tingkat koordinasi dan mengarah pada cedera. Mereka membutuhkan peningkatan kesegaran yaitu hanya latihan satu kali per hari, tiga kali per minggu, tanpa ada latihan fisik. Saya menggunakan pendekatan ini sejak menjadi pelatih fisik Barcelona bersama Frank Rijkaard. Hasilnya amat luar biasa. Pemain yang awalnya khawatir dengan kebijakan ini, karena mereka merasa mendapat porsi lebih sedikit dari pemain lain, pada akhirnya mulai menikmatinya. Mereka merasa menjadi lebih segar dan lebih cepat kembali ke performa semula. Timpun bisa terbebas dari cedera. Mudah-mudahan ke depannya, media mampu tampil lebih kritis mempertanyakan badai cedera yang menyergap suatu tim. Sudah bukan saatnya lagi seorang pelatih yang mengalami episode buruk mengkambing hitamkan cedera. Alasan banyaknya cedera pemain terlihat elegan, karena berarti pelatih tidak mampu mengeluarkan taktik terbaiknya. Di sisi lain, alasan itu amat memalukan dan tidak professional, karena pencegahan cedera juga menjadi bagian dari program pelatih. Terlebih pemain sebagai objek dari suatu program fisik sepakbola mempunyai hak untuk mendapat program peningkatan latihan yang lebih professional, dengan salah satu indikatornya adalah bebas cedera!! Raymond Verheijen Pelatih Fisik Timnas Belanda Euro 2000, 2004 Pelatih Fisik Timnas Korea Selatan Piala Dunia 2002, 2010 Direktur Akademi Feyenoord 2005-2009 Konsultan Fisik Federasi Sepakbola Rusia Konsultan Fisik Federasi Sepakbola Australia Pelatih Fisik FC Barcelona 2003-2006 Pelatih Fisik Manchester City 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar